Dibawah rindangnya taman citarum bandung…beberapa pedagang barang bekas berikhtiar akan rizkinya… | |||
’”Nha nu ieu batu akik ti garut, lamun ieu ti banten” sambil menunjuk kearah batu-batu tua itu. Jangan membandingkan dengan batu permata di Plasa Indonesia atau Bandung Super Mall yang nota bene berharga jutaan, karena batu Akik ini memang hanya sebagai barang dagangan sisipan yang tidak pernah diseleksi kualitasnya sebelum dijual. Ya maklum, ini kita berhadapan dengan salah satu dari jutaan pedagang barang bekas yang tersebar di seluruh Indonesia disaat dimana jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin menganga lebar. Tapi siapa yang perduli kalau tidak diri sendiri. Hari semakin siang, terik matahari sudah menerobos kuat diantara dedaunan pohon asam yang meneduhi mereka. Satu persatu pedagang berkemas pulang. Jadi rupanya jam dagang mereka hanya dari jam 08.00 sampai jam 13.00 tapi ada juga yang sampai jam 15.00. Terlepas dari apa dan siapa mereka, fenomena ini adalah bagian dari potret kehidupan yang seharusnya membuat kita yang masih mampu bekerja tanpa harus berjemur dibawah terik matahari, untuk terus mengaplikasikan rasa syukur kepada Illahi di keseharian kita. Tak hanya kita berucap Alhamdulillah bahwa kita diberikan rejeki berlimpah, keluarga yang sehat dan sejahtera. Tapi yang penting aplikasinya dikeseharian yang tercermin pada kepedulian pada sebagian masyarakat kita yang berada di area marginal di sisi kehidupan kita…. |
|||
Posts Tagged ‘narasi’
Deretan batu Akik yang terselip di taman Citarum-Bandung
Posted in Potret Kehidupan, Serba-serbi Batu Mulia/Akik, tagged bandung, Batu Akik, cincin, foto, narasi, photo, potret, reportase on June 8, 2008| Leave a Comment »
Sepiring nasi Warung Tegal…
Posted in Potret Kehidupan, tagged foto, jakarta, narasi, potret, tegal, warung tegal on May 19, 2008| 2 Comments »
< Untuk urusan isi perut, jakarta memang gudangnya kuliner, dari makanan pinggiran jalan, sampai makanan di lantai 21 sebuah gedung di jakarta yang tidak hanya menyediakan makanan tapi juga menyediakan pemandangan indah malam hari dari ”roof top” yang serasa romantis. Kita tengok makanan di satu warung tegal di kawasan Benhil jakarta pusat. Harga sepiring nasi dengan 3 macam lauk non hewani kita cukup membayar Rp 5.000,-. Tak semahal yang dibayangkan, yang penting kenyang karena rasa daging atau tahu setelah masuk ke lambung tidak ada beda rasanya. < Apakah masyarakat marginal terusik dengan para eksekutif kantoran ke warung tegal mereka? Bagi si pemilik warung ini adalah satu peluang, bahwa dagangan mereka tambah laris. Tapi disisi lain, dagangan mereka bisa terancam naik harganya juga lantaran minyak atau gas yang mereka gunakan untuk memasak ternyata tidak semurah seporsi nasi warung tegal mereka.
Ibarat balon berisi air. Dipencet disisi depan, menggelembunglah sisi belakang, demikian juga sebaliknya. Ini negeri punya kenyataan yang hampir mirim dengan belahan benua Afrika, dimana diam-diam masih banyak menyimpan anak-anak bahkan orang dewasa yang kurang gizi. Antri beras dan antri minyak bukan lagi pandangan tabu dijakarta. Sudah merdekakah kita? Atau ada penjajahan terselubung yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga sebagian masyarakat tercekik? Mungkin perlu jadi menteri dulu untuk menjawab pertanyaan ini… < |
||
![]() |
Menyambung hidup dari Buku Bekas…
Posted in Potret Kehidupan, tagged bandung, foto, kisah, narasi, potret, puisi, sajak on May 19, 2008| Leave a Comment »
Buku bekas takkan lapuk dalam kehidupan insaniah… | |||
< Keseharian pak Harun memang tak lepas dari ratusan bahkan sudah ribuan buku bekas berpindah dari tangannya, dan uniknya hampir setiap buku bekas paling tidak pak Harun bisa menjelaskan dengan lugas, dan dapat membandingkan dengan buku lain yang setopik. Tak pelak lagi, wawasan pak Harun tentang berbagai macam ilmu, baik Ilmu pasti maupun tidak pasti sangat banyak. < Tidak banyak masyarakat kita yang berminat berdagang buku bekas, mungkin dirasa karena margin keuntungan yang kecil. Tapi tidak juga bilang sudah dijalani, walaupun pak Harun selalu memberikan diskon 30% bagi semua buku bekasnya, pak Harun masih tetap eksis melanjutkan hidupnya, bahkan memiliki pegawai yang ikut membantu mengelola pesanan dan penjualan buku bekasnya. Diusia yang sudah menjelang 50 tahun, pak harun masih bisa menikmati kesehariannya bergelut dengan buku bekasnya yang penuh debu, dan berkejaran dengan debu jalanan. Hidup ini hanya prosesi yang tetap harus dijalani, berharap ridlo dan rahmat Allah SWT. Dengan berdagang buku, berbagai macam teori subyektif tentang sejarah yang sebenarnya milik penguasa yang menang, atau tentang teori-teori normatif sepanjang perjalanan hidup akan menjadi bekal wawasan yang cukup untuk berkomunikasi dengan yang lainnya… < |
|||
seraut wajah pada harap…
Posted in ungkapan hati, tagged narasi, puisi on May 13, 2008| Leave a Comment »
Kumelongok pada rumah kecil disuatu persawahan….kumelihat seorang bapak tua bersanding pada sepeda tua dan sedikit kantong lusuh dibelakangnya, bapak tua menatap kereta yang melintas dengan penuh harap…ku tengok pada rautku sendiri…apa yang dapat diharapkan pada hati yang berjendela retak,pada mata yang telah sayu, pada angan yang mengering, compang camping berbelit masalah tentang hidup…
Lusuh aku menyusuri tiap besi-besi berkarat ini..tersedak ku menatap suatu keluarga yang riang bermain…aku merasa sepi sndiri…
Tak lekang ku merintih tertimpa sebongkah batu kapur yg memanas…
Letih rasa ku berjalan…
Tiap terlintas pekuburan ditengah sawah, kembali ku tesedak menatap beku…tampak teduh…tp menyeramkan…tak kuasa ku menatap kapan ku khan kembali..
Kutoarjo 5 mei 2008
Untuk semangkok mie…
Posted in Potret Kehidupan, tagged cerita, narasi, puisi on May 13, 2008| Leave a Comment »
Ketika matahari belum surut ke peraduan, Mak Ipah masih sibuk melayani pembeli yang mampir di “kedai nomaden”-nya. Kenapa nomaden? “Karena sewaktu-waktu petugas trantib dating dan tanpa nego lagi langsung saja angkut ini gerobak mie, dan semua perangkat yang ada. Berat mempertahankan hidup dan berharap pada kearifan penguasa jalanan setempat hanya untuk berdagang kecil-kecilan.
Mungkin ini satu dari ribuan bahkan jutaan pedagang yang notabene juga seorang ibu yang tugasnya tidak hanya diluar, tapi juga dirumah membesarkan anak-anak. Sosok yang mustinya kita lihat sebagai teladan karena dia mau juga sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah…
Inikah scenario hidup yang dia mau? Ini kah yang dulu di cita-citakan? Tidak ada seorangpun berharap punya dagangan kecil-kecilan. Kalo boleh berucap, semua akan berharap menjadi konglomerat kaya, dengan agenda pesta makan malam di Ritz Calton, atau tempat mewah lainnya… Tapi bukan itu sebenarnya tujuan hidup…
Ini hanya penggalan cerita yang harusnya membuat diri kita, dan keluarga kita bersyukur atas apa yang didapat saat ini. Don’t look up your head…tapi lihatlah kebawah…agar rasa syukur masih terbersit dalam benak yang sudah kotor dan gelap oleh gemerlap kota…
Mak Ipah hampir tiap hari berdagang disini, dan berkucing-kucingan dengan jadwal ronda para petugas trantib. Hanya untuk Rp 3.000,- / mangkok, Mak Ipah berjuang melawan polusi yang merongrong paru-parunya setiap hari. Kemana suaminya? Tak perlu ada jawaban, karena yang menjawab adalah suara derit gerobak yang didorong pulang ke rumah..
Sepenggal fenomena yang patut kita renungi, diantara gemerlap dan gelak tawa yang ada disekeliling kita…penggalan fakta yang harusnya tidak membuat orang menjadi buta dan selalu merasa kurang dengan apa yang didapat. Peluh keringat yang ada tidak hanya milik Mak Ipah, tapi juga milik ribuan bahkan jutaan pedagang kecil yang meraup rejeki dipinggiran jalan, berharap orang untuk singgah sebentar mencicipi dan melegakan lapar perutnya…
Perjalanan masih terasa melelahkan tanpa keikhlasan dan dorongan batin yang kuat untuk bertahan hidup, apalagi dikota besar, dan dijaman sekarang yang semua serba hedon, serba metropolis, serba ego, dan serba neo. Mak Ipah adalah satu dari potret pelajaran yang dapat menjadi teladan bagi hidup dan kehidupan, bagaimana bertahan hidup untuk tetap hidup, bagaimana memanfaatkan dan mensyukuri segala rahmat Allh SWT…
Bandung – 12 Mei 2008 – 16.35
Kerikil tajam…
Posted in ungkapan hati, tagged narasi, puisi, sajak on May 9, 2008| Leave a Comment »
Pada Kerikil tajam ini ku berjalan…
Terseok jiwa compang-camping menanti sesuatu….
Terjatuh dan telindas ku mencabik-cabik rerumputan basah dini hari…
Kerikil ini sangat tajam utk dilalui…hati tersayat dan terpendam dalam kegelapan dan tak sanggup ku bergerak menggapai seberkas cahaya…sedangkan putihnya membutakan mata…
kerikil ini sgt tajam utk dipijak..ku tersesat dalam lorong waktu yang sangat gelap..makin tebal rasa karat hati .dan akhirnya rapuh ku terseok diantara jeda waktu ku bernafas…sesal kembali datang dan memeluk erat…
Terngiang aroma nikmat kebatilan yang mengajak kukembali arungi mimpi duniaku…
Sekuat hati ku menepis semua ini…berteriak ku memecahkan jendela hatiku yang telah koyak dan berdarah…
Buat apa?? Untuk apa ku berteriak sedangkan racun ini masih bertengger ditengah-tengah syaraf otakku yang membeku…
Prupuk – 3 mei 08 – 13.55
sudut kesuraman…
Posted in Potret Kehidupan, tagged narasi, puisi, sajak on May 9, 2008| Leave a Comment »
<>Inilah salah satu sudut stasiun ibukota yg menjadi kebahagiaan sebagian orang karena tak ada tempat lain lagi untuk bernaung.Kota ini makin tua dan terbatuk-batuk dengan.bebannya yang semakin berat menanggung semua orang yang berharap keberuntungan disini….Kota ini semakin kering seiring dengan kemerdekaan dng segala kbebasannya….bebas melanggar lalu lintas, ,bebas corat-coret, bebas buang sampah,sampai dengan bebas korupsi.Mungkin Cuma satu yang tidak bebas adalah tidak bebas telanjang di taman kota.
Ada apa dengan penghuni kota ini? Apakah mungkin hidup sudah semakin sulit sehingga yang namanya disiplin akan menjadi beban bagi otak mereka.. Wajar juga sih…Bagaimana mau disiplin kalo mencari kerja saja sulit,buat apa bersih kalo perut aja lapar…besar dari dari kita masih menjunjung tinggi faktor ekonomi diatas segala-galanya. Walo masih tersisa orang-orang yg really dan benar-benar ikhlas menghadapi segala sesuatu dengan lapang dada.Tapi inipun sulit menjadi patokan…karena kedok agama dan ikhlas sudah menjadi pakaian sehari-hari demi kepentingan seputar perutnya. Sakitkah sistem negara ini? Ato rahmat telah dicabut?
Berbusa-busa orang bicara tentang konsep dan hasilnya pun tampak berbusa..permasalahan makin kompleks ketika konsistensi terusik oleh kepentingan.baik kelompok maupun pribadi…tp apa yang bisa kita lakukan? Utk mengurus diri sendiri msh sulit, dan berteman beribu kata-kata normatif yang menjadi makanan seharia-hari dan tak mudah menelan itu semua kedalam otak kanan kita dan menjadikannya sebagai tanda yang harus diikuti.
Hari makin siang dan sebagian kita tak tau hrs berbuat apa.yg terlintas hanya besok makan apa,dan kerja apa,dan semua yang masih berputar pada perut.penat kepala ini serasa menamparku,sedang alam kubur masih menyisakan pertanyaan pada kita..
ku palingkan pandanganku menengok pada gadis manis lugu melamun.dibalik jendela.seperti tak ada beban pd matanya.hanya rindu pd kekasih mgk yg dibygkannya..ato hny rindu pd org tuanya.serasa gadis ini adl manusia yg plg berbhgia.tanpa beban,tanpa mslh hdp yg mendera,menyeret hati hingga compangcamping dibuatnya..
cirebon-3mei08-12.37